Masih banyak yang belum kau lalui, jangan anggap pencarianmu telah  selesai, apalagi menganggap bahwa apa yang kau temukan sekarang adalah  kesempurnaan hidupmu. Biarkan saja hidupmu menggelinding seperti bola salju yang akan semakin  membesar. Kau merasakan seperti sekarang ini  hanya sebagai agar kau tak menyesal telah berpikir begitu sempit.
Dan sebuah kepingan kenangan masa lalu kelak akan menjadi  keping-keping emas yang berharga. Sangat berharga sampai kau enggan  menceritakannya kepada anak cucumu. “Terlalu berharga..” Alasanmu kepada  mereka. Padahal kau terlalu takut jika nanti anak cucumu menyimpulkan  bahwa leluhurnya dulu seorang pengecut yang posesif dan picik.
Jangan, jangan sesali warna hidupmu yang nanti pasti akan memudar,  dan akan meninggalkan dua warna sejati. Sebuah warna yang sama sekali  tidak mengenakkan dipandang sebagai keindahan. Tapi begitulah kebenaran,  kebenaran sering berada pada nuansa yang membosankan. Kau bahkan akan  lebih menyesal jika hidupmu lurus tanpa tantangan, tanpa penanda kepada  generasi bahwa kau pernah ada. Terjalan batu-batu lah yang akan  menentukan kualitasmu sebagai manusia. Sepi dan hambar adalah dua rasa  yang sama-sama datang dari ketakutan atas fluktuasi. Dua rasa yang  sama-sama menjadi obat yang kadaluwarsa.
Lantas kau menjejalkan pada dirimu tentang rupa-rupa sakit hati yang  pernah kau alami, seperti ingin membuktikan bahwa hidupmu sudah cukup  berwarna. Bahkan terlalu berwarna hingga seluruh hidupmu menjadi pekat,  sebab warna yang menghiasi hidupmu sudah bercampur menjadi satu akibat  larut oleh air matamu yang terlalu sering keluar.
Tak tahukah kau? Kau terlalu cengeng, menganggap kisah-kisah sedih  yang kau alami harus ditangisi, hingga hidupmu tak lagi lembab, bahkan  becek oleh air mata yang tak perlu. Sesekali kita memang perlu menangis,  tapi bukan tangisan sepertimu yang aku maksud. Tangis itu tangis haru  atas perjuangan hidupmu yang telah sampai saat itu. Tangis itu adalah  tangis buat sekadar istirahat dan berhenti sejenak, merancang rencana  dan menilai langkah-langkah masa lalu untuk kau jadikan bekal bagi  hidupmu selanjutnya. Hidup tak selalu bergerak maju, terkadang kita juga  perlu mundur beberapa langkah untuk sebuah loncatan besar.
Cinta? Kau masih tega bicara tentang cinta? Pada situasi seperti ini  sangat memalukan bicara tentang cinta. Cinta akan datang sendiri tanpa  dibicarakan, cinta akan datang pada saatnya nanti. Jika masih merasa  sebagai bagian dari manusia, tengoklah saudara semanusiamu dulu, adakah  yang tengah melambai-lambai dan menengadahkan tangan? Jangan pura-pura  tidak tahu, kau cukup tahu untuk mengetahui keadaan mereka, kau manusia  yang diberi Tuhan sebuah kecerdasan yang melebihi saudara-saudara yang  lain.
Nyatakan cintamu pada manusia-manusia tidak dengan cara yang cengeng  seperti sebelumnya, nyatakan dengan sikap terbaikmu. Bukan dengan bunga,  sebaris puisi, atau berlembar-lembar mantra pengasihan. Dengan  kecerdasanmu, tentu kau sudah tahu maksudku.
Boleh saja mereka mengatakan bahwa kata adalah senjata, tapi bicara  saja tak akan cukup menolong. Memang, pada awalnya kata-kata cukup  menghibur dan membius. Tapi akan sangat membosankan jika kata-kata yang  sama terus menerus kau dengar, sama dan tanpa nyawa.
Kau! Menunggu tidak akan menghasilkan apa-apa…!!
sumber : Catatan k sheila.
sumber : Catatan k sheila.